UU Teror Firaun dan Tongkat Musa

z7nn7kh8edm5zyv1ksfa-369fkrk4e9ty56reye677ufoto: ilustrasi

Di awal abad ke-19 muncul seorang politisi dari Inggris yang bernama John Emerich Edward Acton. Ia yang lebih dikenal dengan nama Lord Acton ini punya sebuah kutipan yang populer: “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely. Great men are almost always bad men.”

“Kekuasaan yang besar punya kecenderungan tinggi pada kerusakan. Kekuasaan yang mutlak bisa menimbulkan kerusakan secara absolut. Para penguasa hampir selalunya adalah orang-orang jahat.” Aforisme ini sangat kasat mata dan tidak membutuhkan penalaran mendalam jika kita berkaca pada pemerintah negeri ini.

Sikap dan kebijakan-kebijakan politik yang digelontorkan penguasa hari ini, tak berlebihan rasanya jika kita sandingkan dengan penguasa Mesir zaman lampau, yakni Firaun. Mari kita lihat karakter Firaun, sebagai rezim yang berkuasa dengan represif dan totaliter di dalam Al-Quran.

Dalam surat Al-Quran disebutkan sejumlah karakter Firaun. Karakter-karakter tersebut yaitu, (1) berbuat sewenang-wenang di bumi, (2) melampaui batas, (3) berlaku tiran,(4) memecah-belah rakyatnya, (5) menindas kelompok yang tidak mau menjadi golongannya, (6) serta berbuat kerusakan.

Firaun juga mengklaim berada di pihak yang benar (7), (8) memperdaya dan menyesatkan rakyatnya agar mempercayai ideologi yang dipegangnya, (9) mendustakan ayat-ayat Allah, (10) mengklaim memiliki semua yang ada di negerinya dan berbangga-bangga dengan kekuasaan yang ia pegang, dan terakhir, yang paling fatal ialah (11) mengaku sebagai tuhan yang paling tinggi.

Pengakuan sebagai tuhan oleh Firaun generasi hari ini barangkali letaknya bukan pada instruksi untuk penyembahan, sebagaimana yang dilakukan Firaun zaman Nabi Musa. Namun, peletakan ayat-ayat hukum buatan manusia (konstitusi), yang diletakkan lebih tinggi di atas ayat-ayat suci Al-Quran. Fenomena ini sudah terjadi sejak kasus pelecehan ayat Al-Quran oleh Ahok.

Dus, kasus Ahok kemudian mempolarisasi sebagian umat Islam untuk berpihak pada Musa, dan sebagian lain menjelma menjadi Firaun. Kasus Ahok berhasil memobilisasi umat Islam untuk bersatu di bawah semangat kecintaan terhadap Al-Quran dan perlawanan terhadap ketidak adilan. Namun, respon yang ditampilkan penguasa justru malah memperburuk keadaan dengan melakukan tindakan represif, penangkapan dan kriminalisasi para ulama.

Sayangnya, tindakan kriminalisasi ulama oleh aparat keamanan, selain tidak diakui justru malah dijadikan bahan olok-olok. Dalam wawancara di Radio Trijaya pada 26 Mei 2018, seorang mantan Ketua BNPT mengatakan, “kalau ada kriminalisasi ulama, justru kita tanya, mengapa (ada yang) mengulamakan para kriminal?”

Pelecehan tersebut memang membuat kita geram. Namun jika kita berkaca pada sejarah, hal itu memang sudah menjadi semacam prosedur standar untuk menjadi seorang penguasa tiran, semodel Firaun. Ketika Nabi Musa mendatangi Firaun untuk menyampaikan wahyu dan kebenaran, Nabi Musa pun mendapat ejekan, cemoohan, dan cacian yang lebih dahsyat dari pelecehan semacam itu.

Pada akhirnya, perang narasi antara yang haq dan batil tak terelakkan. Itu pula yang terjadi sejak zaman Nabi Musa dan Firaun dan saat ini. Tetapi sudah menjadi sunatullah bahwa cahaya kebenaran tidak akan pernah mampu dipadamkan oleh kebatilan. Pun, sudah menjadi sunatullah juga ketika kebatilan berhasil disapu oleh narasi kebenaran maka yang terjadi adalah kezaliman yang semakin menjadi-jadi.

Setelah kalah adu argumentasi dengan Nabi Musa, Firaun merespon dengan keras. Ia menutup semua pintu dialog dan segera menerbitkan sebuah undang-undang. Dengan penuh amarah, Firaun berteriak mengucapkan kalimat ancaman untuk Musa, “Sungguh jika kamu menyembah Tuhan selainku, benar-benar aku akan menjadikanmu salah seorang yang dipenjarakan” [Asy-Syu’ara: 29].

Ancaman penjara ternyata sudah menjadi tabiat rezim diktator sejak masa purbakala. Ia bukanlah sesuatu yang baru. Maka, kemunculan undang-undang anti terorisme yang baru dengan pemberian kewenangan lebih terhadap pemerintah untuk menangkapi umat Islam sejatinya adalah suatu sunatullah.

Hanya saja barangkali baik Firaun masa kini maupun zaman lampau tak mengira bahwa Musa hanyalah seorang utusan. Di belakangnya ada kekuatan Maha Dahsyat. Dengan karunia Allah berupa tongkat yang diberikan kepada Nabi Musa, Allah menyelamatkan sang Nabi dan hamba-hamba-Nya yang teguh memegang kebenaran. Akhir cerita, Firaun dan bala tentaranya, ditenggelamkan oleh Allah melalui ketukan tongkat Nabi Musa di Laut Merah. Jasadnya utuh diabadikan untuk diambil hikmahnya bagi generasi mendatang.

Penulis: Fajar Shadiq

Leave a comment